Asap putih membubung dari atap rumah. Mama pasti sedang memasak, perutku makin lapar membayangkan masakannya. Namaku Lota Rangga, Rumah kami terletak di desa kecil yang terletak di daerah Kodi, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Di utara Pulau Sumba terdapat Selat Sape yang berbatasan dengan Pulau Sumbawa, sedangkan di selatan terdapat Samudra Hindia. Jauh di sebelah selatan terdapat Benua Australia yang terkenal dengan kanguru, hewan yang mengantongi anaknya.
"Ma, aku lapar!" seruku sambil melepas sepatu dan mengintip ke kolong rumah. Dua itik dan seekor ayam sedang mengerami telur-telurnya. "Cuci kaki dan tanganmu, Nak!" seru Mama dari dalam. Aku bergegas mencedok air di ember untuk mencuci muka, tangan, dan kaki. Rasanya segar karena air menghapus debu, keringat, dan rasa penat sepulang sekolah. Kupanjat tangga bambu menuju balai-balai di beranda.
Rumah kami adalah rumah panggung, lantainya tidak menapak di atas tanah, tetapi ada kolong di bawahnya. Turis asing kerap bertanya tentang bentuk menara di atap rumah-rumah kami yang dapat dikatakan unik. Bangunan rumah seperti ini terdapat di kampung-kampung adat seperti di Ratengaro, Bukubani, Tosi, Toda, Wainyapu, Wee Lewo, Dokaka, dan masih banyak lagi.
Menara rumah yang menjulang tinggi sekitar 15 meter atau 20 meter terlihat lucu seperti topi kerucut bagiku. Bapak bilang, makin tinggi menara di suatu rumah, makin dekat rumah itu pada tempat Marapu, yaitu roh suci para leluhur kami. Menara terletak tepat di tengah rumah, di atas tungku, berbentuk segi empat yang melancip ke atas dengan rongga di dalamnya. Ada dua kayu yang dipasang seperti tanduk di ujung atap yang disebut dengan kadu.
Pandanganku menjadi gelap ketika memasuki rumah. Dulu aku tidak tahu mengapa begitu, tetapi kemarin Pak Guru mengajarkan bahwa ketika berada di tempat terang, mata menangkap cahaya melalui sel kerucut pada retina, sedangkan ketika kita masuk ke tempat yang gelap, cahaya ditangkap oleh sel batang. Bila sel batang terlambat mengambil tugas dari sel kerucut, pandangan menjadi gelap sesaat. Aku akan menceritakan keajaiban mata ini kepada adik perempuanku, Tamo Inya.
"Ganti pakaian dulu, Lota!" Mama mengingatkan. Mama sedang mengaduk
sayur daun labu lilin dan bunga pepaya di kuali. Uap masakan dan asap
kayu api terlihat berputar-putar di dapur ketika tertimpa sinar matahari
yang menerobos dari celah atap. "Mana Tamo Inya?" tanyaku sambil duduk
di dekat tungku dengan membawa piring. "Di umabokolo (rumah besar), ada
turis datang, adikmu suka belajar bahasa Inggris," kata Mama sambil
mengisi piringku dengan nasi jagung dan sayur.
"Ambil sendiri ikan di rem'ba." Mama menggerakkan kepala ke arah rem'ba, yaitu anyaman dari daun pandan laut yang digantung sebagai tempat meletakkan piring-piring berisi lauk pauk. Mama menganyam sendiri rem'ba di rumah kami. "Kalau mau daging juga boleh." Mama menawari. "Untuk nanti malam saja," kataku. Di bagian bawah rem'ba tersimpan daging kerbau asap. Nenek dan Mama biasa menggantung daging di atas tungku untuk mengawetkannya. Kami tidak punya kulkas. Panas dari bara api kayu kosambi mengasapi daging sampai masak sehingga daging menjadi awet dan beraroma harum.
"Terima kasih, Ma," kataku gembira mengambil ikan kakap goreng. Ikan itu hasil tangkapan Bapak. "Lahap sekali makanmu," kata Mama tersenyum gembira. "Tentu saja, karena perutku lapar, apalagi nasi jagung, ikan, dan sayurnya enak." Mama tersenyum, lalu membungkuk untuk menarik kayu kosambi yang membara dan menjauhkannya dari tungku. Itulah cara Mama untuk mematikan api tungkunya.
Bapak membuat sendiri tungku itu, sama seperti dapur di rumah-rumah tetangga, yaitu dengan meletakkan kayu pembatas mengelilingi bidang dengan luas kira-kira 1,5 meter persegi. Bapak mengisi pembatas itu dengan batu kerikil dan tanah yang dipadatkan dengan air, ditekan-tekan, lalu ditimbun dengan tanah. Proses itu diulang sampai pembatas itu menjadi sangat padat dan kuat untuk alas tungku. Di atas bidang datar itu bapak meletakkan tiga bongkah batu kapur sebagai tungku yang melambangkan batu ayah, batu ibu, dan batu anak. Mama dapat meletakkan kuali, cerek air, atau ketel untuk menanak nasi di atas tungku dan menyalakan api dengan bahan bakar dahan kayu, ranting-ranting, atau daun kelapa kering yang diambil dari pekarangan rumah. Kami tidak pernah kekurangan kayu karena ada banyak pohon yang ditanam atau tumbuh liar di kampung sebagai sumber bahan bakar.
Tungku terletak di tengah-tengah rumah sehingga panas dari apinya dapat menghangatkan seisi rumah dan nyala api menjadi sumber penerangan. Di sisi luar tungku terdapat empat tiang utama yang juga mempunyai makna. Tiang utama yang terletak di kanan depan disebut tiang Marapu. Marapu adalah roh leluhur kami yang memiliki kekuatan suci. Kami memandang Marapu sebagai kekuatan yang bermata besar untuk melihat dan yang bertelinga lebar untuk mendengar. Tiang rumah di kiri depan disebut tiang bapak, kemudian di kanan belakang ada tiang ibu yang terletak dekat dengan tempayan air. Sementara itu, di kiri belakang terletak tiang anak.
Tiang utama dibuat dari kayu kadimbil yang kokoh dan kuat, sedangkan tiga tiang lainnya terbuat dari kayu jati putih. Di sebelah atas tiang utama dipasang cincin kayu. "Apa maksud cincin kayu itu?" tanyaku kepada Bapak suatu saat ketika kami akan tidur. "Lambang kehidupan. Hidup manusia seperti lingkaran ada yang lahir juga ada yang mati," jawab Bapak.
Tiang dan kerangka rumah disusun dengan cara diikat menggunakan rotan atau akar tanaman dari hutan yang akarnya kuat sekali. Selain tali, kayu-kayu dirapatkan dengan memotong bentuk-bentuk siku yang bisa disambung, mirip mainan balok yang kulihat di sekolah PAUD dan ditancap dengan pasak kayu. Biasanya Bapak meletakkan hasil panen berupa padi atau jagung di dalam menara untuk persembahan bagi Marapu dan juga sebagai simpanan. Terdapat beberapa tiang lain di bagian samping, depan, dan belakang rumah.
Penutup atap rumah terbuat dari alang-alang yang dikeringkan dan diikat lalu disusun rapat di atas kerangka kayu dan bambu. Alang-alang yang sudah disusun tersebut menjadi tebal dan rapat. Kata Bapak, atap di bawah menara harus landai agar air hujan mengalir turun dan tidak merembes masuk ke dalam rumah. "Lota ingin melihat orang membuat rumah di tempat Bapak Bani Mete," kataku. "Ho... Mengapa suka melihat orang kerja membangun rumah?" "Waktu guru bertanya tentang cita-cita, Lota bilang ingin menjadi pembuat rumah. Pak Guru bilang, artinya Lota ingin menjadi arsitek."
"Oh, begitu? Habiskan makananmu dulu, baru pergi." Mama berdiri membetulkan sarung tenun yang melilit tubuhnya. Aku mengangguk, meletakkan piring kotor sambil mengintip ke kolong rumah. Sekarang hari ke-15, telur akan menetas pada hari ke-21. Hatiku senang membayangkan akan mendapat delapan anak ayam. Rumah kami memang bukan gedung bertingkat, tetapi terdiri atas tiga tingkat, yaitu bagian kolong di bawah untuk tempat tinggal hewan, lantai atas atau tingkat kedua untuk manusia, dan tingkat ketiga yaitu menara untuk tempat tinggal roh leluhur kami, Marapu.
"Lota, yuk cari lulu!" ajak Ranu, temanku, yang berdiri di luar rumah
bersama Isto dan Ghada, sepupunya dari Karuni. Kulihat mata Mama
berbinar mendengar Ranu mengajakku mencari lulu, rumput laut. Hemmm,
melihat orang membangun rumah atau ke pantai? Sungguh pilihan yang
sulit. Akhirnya, aku mengambil ember karet untuk tempat lulu dan melirik
Mama yang tersenyum cantik. Dia senang, aku pun senang, berharap nanti
malam menyantap lulu segar dengan potongan cabe dan bawang. Kami akan
mengumpulkan lulu di antara batu karang sambil bermain di dalam gulungan
ombak. "Ayooo!" seruku. Kemudian, aku melompat turun dan berlari bersama
mereka ke pantai. Kami mengajari Ghada berenang dan dia senang. Kampung
tempat tinggal Ghada di atas bukit-bukit dengan padang rumput tempat
menggembala kuda sandlewood, kerbau dan sapi.